[Cerpen]: Kutemukan Adzan di Negeri 1000 Al-Kitab

Oleh : Aini*)


Di pagi yang masih buta hari ini, mataku tak bisa teralih dari layar televisi. Di sana, aku mendengar sesosok wanita penguasa yang dengan lantang mengatakan akan mengimpor guru. Aku tertegun, hampir-hampir tak percaya. Hatiku cekit-cekit mendengarnya.

Ingin kucubit manja lengan sang ibu sambil berbisik, "Ibu yang terhormat, sudahkan ibu melanglang buana. Melihat siapa yang hingga hari ini mengajar anak-anak kita di riuh ramainya kota dan di senyap sepinya pinggiran nusantara sana?. Dengan gaji tak sampai 1/2 juta tiap bulannya”.

Aku menahan napas, mengatur kata-kata agar yang keluar bukan serapah. Kutatap Ibu penguasa dan kembali berkata, “Dan wahai Ibu, putra-putri bangsa ini ada yang rela meninggalkan kota, sejenak rela tak melihat sanak keluarga, demi mengajar adek-adek di pinggiran-pinggiran negeri tak bersinyal 2G, tak bernyala lampu, bahkan rela menukar nyawa.  Lantas hari ini, Ibu mengatakan ini mengimpor guru? Kemudian, guru-guru yang telah menekan hati, menahan getir kekurangan ekonomi itu akan Ibu kemanakan?”

Tayangan televisi ini sejenak membawaku terlempar pada kenangan masa lalu. Kenangan jiwa-jiwa muda yang dengan bara di dadanya, menerjang segala kendala. Berpencar ke sudut-sudut sepi negeri ini untuk melihat wajah pendidikan. Berlomba dengan keadaan, menyesuaikan diri dengan perbedaan. 

Di tanah asing antah berantah, tak bersaudara tak berlembaga. Menapaki jalan berliku untuk menemui adik-adikku yang tak bisa membaca, tak mampu berhitung. Dan melewati Ramadhan yang berharga sebagai satu-satunya seorang muslim di sebuah desa di pulau dengan label terdepan, terluar, tertinggal. Seperti apa kisah itu? Simaklah, aku akan menceritakan untukmu.

--- ***---
Aku menghadap kaca, menyaksikan wajahku yang makin hari makin menghitam. Sesekali, mulutku berdesis sebab pagi di pulau ini jauh lebih dingin dari suhu kebanyakan tempat di Jawa Timur. Meski toh hampir genap enam bulan di tempat ini, aku terkadang sampai menggigil karena suhu ekstrim di Pulau Tagulandang ini. Satu dari puluhan pulau yang berada di Kabupaten Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara, yang bahkan tidak akan kalian temukan nama atau titiknya di peta negara kita. Tentu saking terpencilnya.

“Ibu... ibu, ayo berangkat Bu”, teriakan murid-murid di depan rumah ini membangunkan lamunanku. “Iyo Nak, sadiki lai”(1), jawabku sambil merapikan lagi kerudung yang sudah kukenakan. Setelah berpamitan dengan bapak ibu asuhku di pulau ini, aku pun mendatangi murid-murid yang telah ada di halaman rumah. Senyum mereka lebar, tangan kanan mereka mengenggam Al-Kitab. Kami pun berjalan menuju ke sekolah bersama-sama. Semakin banyak langkah kaki kami, semakin banyak murid yang bergabung dalam perjalanan. Tidak hanya murid yang ikut berjalan ke sekolah, anjing-anjing mereka pun ikut mengantar, seolah bodyguard yang melindungi tuannya.

Tunggu..., kuhitung dulu. Ah..., hari ini ada lima anjing yang mengawal langkah kami. Teringat saat pertama kali datang di tempat ini, aku sangat takut pada anjing-anjing yang selalu ada di jalan-jalan dan di rumah warga. Saat ini? Aku sudah terbiasa.

Tiba di sekolah, semua kelas masih terkunci. Benar, masih ada setengah jam menuju jam tujuh pagi. Tak beberapa lama, satu dua guru datang. Untuk kemudian bel berbunyi, kumandang bacaan Al-kitab pun mulai terdengar. Seusai baca Al-kitab, aku menunjuk seorang murid untuk memimpin membaca buku. Tepatnya mengeja huruf per huruf kemudian barulah melafalkan kata dan kalimat.

***
Matahari terbenam diikuti gelap yang merayap. Di tempat ini, hanya ada bunyi babi yang menggorok, jangkrik yang sesekali berderik, serta lolongan anjing yang memecah kesunyian. Jangan harap ada bunyi adzan di desa ini. Kalau pun ada, itu adalah bunyi dari puji-pujian kelompok ibadah gereja. Ya, di sini adalah mayoritas beragama Kristen.

Untungnya aku membawa hp yang memiliki aplikasi pengingat sholat dan juga penunjuk arah kiblat. Beruntungnya lagi, keduanya bisa berfungsi meski dalam keadaan offline internet dan tak ada jaringan seluler. Oia, di tempat ini sumber utama aliran listrik masih berasal dari genset. Karenanya, beberapa hari lalu baterai laptopku rusak. Sebab aliran listrik yang mengisinya tidak stabil.

“Ndiok (2), besok kamu mulai berpuasa Ramadan bukan?”, tanya ibu asuhku.
“Iya Bu”, jawabku antusias.

 Sebenarnya, hatiku sedikit gelisah. Kekhawatiran pada banyak hal muncul di benakku. Terlalu ada banyak hal yang justru tak ada di sini. Seperti merdunya adzan maghrib yang selalu aku rindukan, ronda keliling membangunkan sahur, sholat taraweh di masjid, dan yang paling kurindukan adalah buka bersama keluarga. 

Untungnya, masih ada hp yang nantinya akan membunyikan adzan dan juga sebagai alarm sahur. Selain itu, aku tentu harus bersabar. Ah... aku tak bisa mengungkapkan hal ini pada ibu asuhku. Aku hanya membiarkannya bergejolak di hatiku. Sepertinya, di sana ada basah yang mengalir. Ya, hatiku menangis.

“Nanti ibu mau membuat masakan sahur untukmu ya. Jangan masak sendiri, besok kan hari pertama puasa” Lanjut ibu sembari tersenyum dan melangkah menuju dapur. Aku mengikutinya dan melihat ibu mempersiapkan alat masak dari areaku. Oh iya, aku belum menceritakan kepadamu. Aku dan ibu asuhku memiliki tempat cuci piring berbeda, tempat bahan masak berbeda, dan perlengkapan masak berbeda. Semua yang tercat warna merah di dapur ini, adalah milikku. Ya, khusus untuk membuat makanan yang diperbolehkan untuk kaum muslim.

Langit sudah menggelap tapi aku tak kunjung mendengar bunyi adzan dari handphone-ku. Aku pun bergegas melongok jam dinding dan harusnya ini sudah masuk waktu adzan. Aku menuju meja tempat handphone kuletakkan. Kepencet tombol kuncinya tapi tak ada yang berubah, layar handphone tetap gelap pekat. Kupikir baterainya habis. Dan aku memutuskan mengisi dayanya. Biasanya saat terhubung aliran listrik, handphone itu bisa langsung menyala. Sayangnya kali ini tidak. Aku pun bergegas sholat karena yakin sudah masuk waktu sholat.

Seusai sholat aku membantu ibu asuh untuk membuat makanan persiapan sahur pertama besok pagi. Makanan dimasak sekarang, karena ibu asuhku tidak terbiasa masak sepagi itu. Dan tentu kecil kemungkinan bangun di dini hari seperti itu. Di sela-sela memasak, ibu bertanya apa aku tidak merindukan rumah. Kubalas senyum dan tawa. Semoga itu cukup untuk mengelabuinya. Aku hanya ingin tak banyak bicara, karena kata-kata hanya akan menambah kerinduan pada keluarga di Jawa.

Seusai masak, aku kembali melihat handphoneku. Setelah dua jam aku charge, tak ada gambar baterai hijau yang naik turun sebagai tanda daya berproses terisi. Aku pun mulai panik, khawatir hp itu bernasib sama dengan laptopku. 

Masalahnya, hp itu adalah satu-satunya harapan agar aku bisa memasang alarm untuk sahur, tahu jadwal imsak dan juga adzan. Aku mulai panik dan mondar-mandir kesana kemari. Kucoba di tempat pengisi daya di dapur, tapi hasilnya sama. Ku coba ke rumah tetangga dan izin menumpang mengisi daya, namun sia-sia saja. Benar-benar tak bisa menyala.

Aku kembali ke rumah dan mendapati bapak asuhku yang baru datang dari laut ikut cemas.  Ia berdiri dan menanyakan apa hp itu sudah bisa di-charge. Aku menggeleng putus asa. Bapak yang baru datang bermandikan peluh pun tak bisa beristirahat. Aku jadi tak enak tapi tak bisa juga berpura-pura tak terjadi apa-apa. 

Aku jadi sedih. Bukan karena alarm hp, atau hiburan di dalamnya. Tapi karena aku khawatir tak bisa mendengarkan adzan lagi. Adzan itu adalah satu-satunya hal yang membuat kerinduanku pada masjid dan hal tentang Islam lainnya sedikit terobati. Kalau tak adzan, rasa-rasanya aku berada di tempat asing. Meskipun keluarga asuh, murid, dan semua orang baik padaku.

“Sudah jangan murung Ndiok, Bapak ada bawa ikan segar untukmu. Bapak cari jauh di tengah laut untukmu besok berbuka”. Demi melihat Bapak yang lelah tak lagi khawatir, aku pun memaksakan tersenyum. Sebenarnya, aku benar-benar ingin berlari ke tempat service hp. Tapi mana ada di sini tempat seperti itu.

Waktu berjalan cepat, malam makin dingin dan gelap.  Aku pun memutuskan untuk sholat isya dan sholat tarawih sendirian di kamar sempit  3 x 2 meter.  Setelah sholat, ibu asuh memintaku untuk segera tidur. Ia berpesan agar aku tak perlu khawatir tidak bisa bangun. Kata ibu, meski di rumah ini tak ada handphone atau alarm, ibu akan bisa membangunkanku.  Aku pun menuruti kemauan ibu dan bergegas tidur. Pikirku, tak sahur pun tak mengapa.

Aku bergegas merebahkan diri di kamar tidur. Pasrah pada apa-apa yang terjadi. Toh ini bukan pertama kalinya hal tak terduga terjadi. Kuputuskan untuk melelapkan diri sedalam-dalamnya. Meski di ruang tengah masih sayup-sayup terdengar percakapan ibu dan bapak. Entah apa yang dibicarakan.
***
Kampung Bawoleu di dini hari makin dingin. Meski tak membuka mata, aku terus saja menarik-narik selimut hingga ke ujung kepala agar dingin sedikit mereda. Untuk kemudian terlelap. Samar-samar dari kejauhan ada bunyi bedug dan nyanyian sahurrr... sahurrr... sahurrr... sahurrr.... Aku ingin tersenyum, aku menduga aku sedang bermimpi berada di tanah Jawa dan mendengar ronda keliling membangunkan sahur. Eh... tapi, mengapa semakin lama bunyinya semakin terasa dekat.

Sahurrr.. sahurrr... sahurrr... sahurrrr...  Suaranya seolah mendekat di jalan dekat rumah ini. Hmm... sepertinya rinduku teramat kuat pada tanah kelahiran. Hingga di tempat tanpa umat muslim pun aku seolah-olah benar mendengarkan suara semacam itu.
“Ibu... ayo sahur ibu” terdengar jelas suara di dekat jendela kamar.
“Bu Aini ayo bangun sahur” ini sungguh terdengar  dekat. Dan suaranya, seperti suara salah satu muridku.
“Bu guru, sahur... bu guru... sahur... bu guru.. sahur...” Bunyinya makin keras dan cepat. 

Aku pun langsung membuka lebar mataku dan bergegas mendekati jendela kamar. Suara riuh itu jelas. Dari rongga-rongga jendela kayu, aku mengintip siapa yang ada disana. Ternyata ada pemuda-pemuda, bapak-bapak, hingga murid-muridku.

Aku pun bergegas keluar kamar dan menuju halaman rumah. Aku lihat mereka masih menabuh  panci, ember, dan benda-benda seadanya sembari berdendang, sahurrr... sahurrr... sahurr...

Nyaris tak kutemukan mata yang mengantuk di wajah mereka. Mereka membuat udara dingin yang normalnya membuatku menggigil berganti hangat yang menyenangkan. Sementara di ruang makan, ibu menyiapkan hidangan di meja. Meja besar itu penuh banyak macam lauk.
Mereka yang membangunkanku sahur pun dipersilahkan masuk dan ikut makan bersamaku. Saat duduk di meja makan, aku memandangi mereka satu-satu. Bola mata yang penuh kehangatan itu memancarkan kasih tulus sesama manusia. Tiba-tiba aku merasa ada gambaran masjid di bola mata mereka. Lengkap dengan suara adzan yang mengalun indah. Tentu mereka tak mendengar. Sebab aku mendengarnya bukan dengan telinga. Tapi dengan hatiku.

Sungguh, Tuhan menyayangi umatnya dengan berbagai cara. Bahkan lewat kasih sayang mereka yang berbeda agama. Malam itu, aku sempurna paham makna bhineka tunggal ika. Dan sahur ini, adalah sahur yang paling mengesankan dalam hidupku. Dan di manapun berada, menjadi seorang guru adalah pilihan paling tepat dalam hidupku.

*---*
Itulah cerpen (fiksi) yang terinspirasi dari pengalaman di Pulau Tagulandang, Kampung Bawoleu Sumatera Utara. Terima kasih untuk keluarga asuh di sana, Keluarga Togelang-Kangiras, Makakombo-Makasenda. Terima kasih juga Mama Ari yang beberapa kali ikut berpuasa, semoga engkau kini tenang di surga.

Dan untuk para penguasa, semoga bisa melihat betapa banyak putra-putri negeri yang dengan sungguh ingin mencerdaskan Indonesia. Kami terus berusaha memberikan yang terbaik. Berani mengambil resiko dan berbagai tantangan menerjang keterbatasan mengajar di daerah. Kami butuh dukungan bukan dicampakkan atau digantikan. Kami di sini, putra-putri negeri. Tumpah darah Indonesia.

(1)   Iya Nak, sedikit lagi.
(2)   Panggilan untuk anak perempuan
Biodata Singkat
*Aini, blogger di www.aininur.com. dan seorang guru yang pernah menjadi bagian dari Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T Angkatan 4) di Pulau Tagulandang. Kini menjadi guru di SMPN 1 Tutur Kabupaten Pasuruan.






Comments

Post a Comment

Terima kasih telah memberikan komentar. Tunggu kunjungan balik saya ke Blog teman-teman :)