Satu Sekolah, Satu Guru


Harus siap dengan kondisi apapun, itulah salah satu kunci yang harus dipegang oleh guru di daerah terpencil. Tidak hanya siap menghadapi lingkungan sosial yang amat berbeda, tapi segala hal. Jangan membayangkan di sekolah-sekolah daerah terpencil bumi pertiwi ini sama sekali tidak ada guru. Hingga pemerintah susah payah mencanangkan berbagai program untuk mengirim guru-guru dari kota ke daerah terpencil. Di atas kertas, sekolah tempatku mengabdi ada tidak kurang dari enam Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan satu orang guru honorer. Tapi kenyataan di lapangan, guru sebanyak itu biasanya hanya hadir dua atau tiga orang saja, dan itupun di hari senin hingga kamis saja. Bahkan, mereka biasanya datang terlambat.
Pengalaman yang aku alami, hari itu bernama Kamis, pukul 8.00 guru yang hadir hanya aku. Kebetulan Kepala Sekolah kami sedang mengikuti Rakor di Kabupaten selama kurang lebih satu minggu, dan selama itu pula guru-guru di sekolahku yang datang hanya dua, tiga orang. Memang ada alasan yaitu sakit, ijin ke pasar karena ada acara, dan ada beberapa yang tidak ada kabar. Besoknya, mereka datang dengan penjelasan sakit tiba-tiba dan lainnya. Memang tidak bisa disangkal karena kami tidak bisa berkomunikasi lantaran tidak ada sinyal di tempat tugasku.

Kerja Bakti Membersihkan Kelas Bersama-Sama
Seorang diri di sekolah, membuat aku berpikir bagaimana bisa mengatur anak-anak. Sambil menunggu ide, aku mengajak anak-anak untuk bersih-bersih ruangan kelas masing-masing. Enam kelas, dengan satu guru, aku harus berpikir cepat. Sambil mondar-mandir ke kelas-kelas mengawasi anak-anak membersihkan kelas, aku ingat cerdas cerdas cermat yang barusan digelar di Dinas Pendidikan yang melibatkan kami sebagai panitia.
Jadilah, setelah bersih-bersih selasai, aku mengumumkan bahwa akan ada cerdas cermat. Di mana, setiap satu kelas diwakili tiga orang siswa. Aku memulai dengan yel-yel, tepukan-tepukan semangat (ilmu yang aku dapatkan dari bekerja paruh waktu sebagai co.trainer di kampus dulu). Kalau kalian bisa melihat, anak-anakku bersemangat sekali.
Itu adalah salah satu pengalaman dari hari-hari di tempat rantau ini. Yang membuat bersemangat adalah anak-anak yang selalu rajin sekolah, baik ada guru maupun tidak ada. Pengalaman lain ketika itu juga tidak ada guru, aku memutuskan untuk mengajar mata pelajaran secara normal di enam kelas, karena takut mereka terlalu banyak tertinggal pelajaran. Tapi hal ini tidak efektif, karena aku harus bertanya dulu mereka sampai di mana pelajarannya, lalu mondar-mandir ke kelas satu sampai dengan kelas enam juga bukan perkara mudah. Maklum, di sini buku sangat terbatas, sehingga mau tidak mau, guru harus menulis materi di papan tulis. Pengalaman yang menyenangkan dan menegangkan. 
Semoga ke depannya, guru-guru di pedalaman Indonesia lebih bersemangat untuk mengajar. Salam Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia
Bawoleu, 2014


Comments