Bisakah Menghadapi Kemerdekaan Tanpa Cinta?

 

Halo, apa kabar hati? Hatiku, hatimu, hatinya, bahagiakah? Yang sedang berbahagia, semoga tak lupa merapal syukur. Sedang yang masih ditemani kesedihan, aku harap kita semua masih betah bertahan untuk menggapai kebahagiaan. Aamin.



Aku kali ini menyapa kamu semua dalam bentuk podcast. Entah mengapa aku ingin memberikan nama untuk podcast ini adalah garis terdepan. Sepertinya, aku ingin kamu semua yang mendengarkan podcast garis terdepan akan yakin bahwa, aku sungguh ingin menjadi teman garis terdepan bagimu. Ya, teman berbagi suka, duka, dan rasa apa saja. Agar kamu semua tak lagi kesepian dalam menghadapi berbagai rasa, khususnya saat berduka.



Kata bung Fiersa Besari, “yakin kau temukan aku di garis terdepan, meski hanya sebatas teman. Yakin kau temukan aku di garis terdepan, bertepuk dengan sebelah tangan”. Hmm... Maaf ya fals. Oke, fokus-fokus.

Di episode kali ini, aku bakal membahas cerita tentang kemerdekaan. Benar, tanah air tercinta kita semua baru saja merayakan hari lahir. Kelahiran di masa lalu dari rahim perjuangan dan tetesan darah para pahlawan. Sempat berpikir gak sih, kenapa di masa lalu para pahlawan dengan rela dan tulus mengorbankan harta, tahta, bahkan nyawa demi merebut kemerdekaan? Apa untuk memperkaya diri? Tentu tidak, beberapa pahlawan justru habis-habisan menggelontorkan kekayaannya untuk menempuh jalan perjuangan. Lantas apa tahta? Tentu tidak juga. Di masa perjuangan, semua kaum baik bangsawan atau rakyat jelata tak kenal takut, semua memasang badan dan memanggul senjata.

Lalu karena apa para pahlawan se-berani itu hingga bahkan rela bertukar nyawa demi kemerdekaan. Ya, jawabannya hanya ada satu. C. I. N. T. A. Cinta, yang teramat besarnya bagi tanah tumpah darah kita, Indonesia.

Rasa cinta merupakan satu dari sekian keajaiban yang diberikan Tuhan pada kita. Karena cinta yang amat besar itu, para pahlawan yang lembut hatinya bahkan  mampu dengan gagah perkasah membabas habis musuh- musuh perang. Para pahlawan, dengan rela meregang nyawa, asal yang dicintainya bisa tetap berjaya. Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Demi itu semua, apapun diberikan pada negeri kita oleh para pahlawan. Romantis sekali bukan bentuk rasa ini?

Cinta para pahlawan, adalah cinta yang sungguh benar adanya. Ya, sebab bukan kepemilikan yang mereka inginkan. Bukan, “aku harus memiliki kamu, Indonesia” Bukan itu. Sebab mereka tak bisa lagi memiliki, karena raga bahkan terpisah nyawa. Sekali lagi, bukan aku harus memiliki kamu, tetapi “kamu harus tetap ada, merdeka, dan jaya”, meskipun aku tak ada lagi di sisi. 

Sebuah penggambaran pengorbanan yang jelas tulus tanpa pamrih. Asal yang dicintainya merdeka, nyawapun diberikan. Itulah, gambaran besarnya cinta para pahlawan. Bukan cinta yang sehidup semati. Tapi cinta yang membuktikan bahwa, “asal kamu hidup Indonesiaku, aku rela mati untukmu”. Hmmm...Sungguh luar biasa.

Jika menoleh 75 tahun yang lalu, jelas Indonesia lahir dari rahim cinta sejati para pahlawan. Lantas mari menuju masa kini? Bagaimana kondisi kemerdekaan saat ini di tanah air? Dan ada sebuah pertanyaan, bisakah menghadapi kemerdekaan tanpa cinta?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu melihat peristiwa-peristiwa di sekitar kita.

Kasus yang belakangan santer adalah dokter dan perawat mendapat stigma negatif di masyarakat karena merawat pasien covid-19. Sungguh miris bukan? Tenaga kesehatan yang berjuang untuk kesehatan masyarakat malah mendapat stigma negatif? Apa ada cinta antar sesama di kondisi seperti ini?

Kasus lain, muncul klaster liburan merdeka dengan rerata daily cases 2.528 yang diakibatkan masih banyaknya masyarakat yang tak mematuhi protokol kesehatan saat berlibur.  Adakah aroma cinta tanah air di sini? Di situasi pandemi bersikap seenaknya dan mengakibatkan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat terancam bahaya?

Ibu-ibu di daerah yang  demo menuntut sekolah dasar dibuka. Ibu-ibu ini juga mengancam mengeluarkan anaknya dari sekolah jika sekolah tak dibuka. Adakah rasa cinta akan sesama di kasus ini?

Kasus lain yang marak adalah tweet war (perang di twitter) kubu yang menganggap covid-19 konspirasi dan kubu yang menganggap covid-19 sungguh penyakit berbahaya. Muncul banyak ujaran kebencian, saling lempar hinaan, dan berujung bermusuhan di dunia nyata. Apakah ada cinta di sini?

Keadaan-keadaan di atas bukan hal sepeleh, tapi sesuatu yang jauh dari cinta kasih sesama bangsa. Apa bisa Indonesia dikatakan merdeka dengan sebagian masyarakatnya saling memusuhi?

Di sisi lain, ada peristiwa-peristiwa lain menunjukkan kecintaan masyarakat pada tanah air.

Salah satunya adalah beragam pengumpulan donasi untuk membantu perekonomian masyarakat di tengah gerakan #dirumahsaja yang menyulitkan ekonomi.

Bahu membahu membantu peristiwa banjir besar di Masamba, meski dalam kondisi pandemi, bantuan datang dari segala penjuru negeri.

Peristiwa-peristiwa seperti ini, menunjukkan bahwa cinta pada sesama, saudara sebangsa, yang juga berarti cinta pada negara masih ada di sanubari masyarakat Indonesia.

Lantas, kamu sendiri ingin menjadi bagian yang mana? Masyarakat yang kehilangan cinta meski di tengah kemerdekaan? Atau warga negara yang mempertahankan cinta meski kondisi di tanah air makin sulit?

Ya, tentu saja aku berharap kita semua bisa merayakan kemerdekaan dengan cinta.

Sebab cinta, bapak ibu guru di beberapa sudut negeri rela berjalan jauh ke rumah-rumah peserta didik untuk mengajar sebab sekolah sementara tak bisa diadakan secara tatap muka. Mereka tidak mengeluh, terus mencari cara agar tetap bisa mencintai Indonesia dengan jalan mencerdaskan anak bangsa.

Sebab cinta, bapak ibu dokter dan tenaga kesehatan rela memiliki jam kerja yang panjang bahkan kadang tak sempat pulang ke rumah demi cinta pada tanah air dengan jalan menyelamatkan nyawa-nyawa masyarakat di tengah ancaman pandemi yang menakutkan.

Sebab cinta, para orang tua yang terpaksa mendapati dirinya di PHK, tak putus asa dan membuka usaha-usaha kecil, mungkin berjualan online, berpindah lapangan kerja, dan berinovasi di berbagai bidang. Ini juga bentuk cinta pada tanah air, dengan berusaha tegar dan melayakkan diri sebagai warga negara.

Meski ada juga yang memilih protes sana-sini dan malah berbuat yang tak dibenarkan.

Ada banyak pilihan, tinggal kita mau memilih menjadi warga negara yang menikmati kemerdekaan dengan cinta. Atau, justru mengikis kemerdekaan dan kejayaan tanah air dengan hal-hal yang sia-sia.

Jadi, apa kesimpulan dari pertanyaan bisakah menghadapi kemerdekaan tanpa cinta? Aku yakin, pendengar semua lebih dari mampu untuk menemukan jawabannya.

Aku pikir, negara kita saat ini sedang mengalami krisis cinta meski sedang menikmati kemerdekaan. Di sisi lain, masih banyak cinta dari masyarakat. Tapi kiranya, masih butuh banyak lagi cinta untuk mengisi kemerdekaan ini agar tanah air bisa bangkit dari keterpurukan, dan mampu kompak mentas dari pandemi bernama corona.

Saudaraku semua, mari tak perlulah saling tuding, saling tuduh, saling salah-menyalahkan. Yang terpenting saat ini, lakukan yang terbaik di bidang masing-masing. Lakukan inovasi, bekerja, bekerja, bekerja.Tunjukkan bahwa cinta kita pada tanah air, meski tak bisa sesempurna cinta para pahlawan.

Selamat memerdekakan diri dari kebencian, mari menebar cinta pada sesama, demi tanah air kita, Indonesia.

Dengan segenap hati yang terdalam, saya Aini, garis terdepanmu.

Comments