Destinasi Impian : Episode Perjalanan di Pedalaman Sulawesi Utara

Perjalanan ini berawal dari impian yang muncul ketika aku baru menapaki dunia universitas. Kala itu, aku mengikuti sebuah seminar pendidikan yang menampilkan isu kekurangan guru di pulau-pulau terpencil Indonesia. Dalam sebuah video, ditampilkan seorang guru merangkap sebagai kepala sekolah, pengajar, tata usaha, dan semua pekerjaan lainnya. Satu orang guru, dalam waktu bersamaan mengajar di enam kelas yang berbeda.

Melihat hal itu, aku bertekad untuk kuliah dengan rajin, cepat lulus, dan segera membantu mengajar di daerah terpencil. Berbekal mimpi yang selalu kujaga dan pupuk sejak seminar itu, akhirnya selepas pengukuhan gelar sarjana, aku mendaftar program SM3T (Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Dari 2000-an peserta yang mendaftar, aku adalah 1 dari 161 sarjana yang berada di bawah naungan LPTK Universitas Negeri Malang yang akan dikirim ke daerah. Dari impian inilah, perjalanan pun dimulai.

            Perjalanan ditempuh dengan menaiki pesawat dari Bandara Juanda Surabaya menuju Bandara Samratulangi Manado. Dilanjutkan dengan menaiki kapal laut ekspress menuju pusat pemerintahan Kabupaten Sitaro untuk berkenalan dengan dinas pemerintah setempat. Selanjutnya, aku harus menaiki kapal laut untuk kedua kalinya menuju Pulau Tagulandang. Di tengah perjalanan laut ini aku merasakan tubuhku mulai menyerah,  kepala pusing, badan mendingin,  dan ombak kencang mengombang-ambingkan isi perut. Mengingatkanku kepada keluargaku di rumah, mengingat betapa mereka pada awalnya meragukan keputusanku ini.

Aku mengingat saat itu nenek dan kakakkku, tidak sepenuhnya mengizinkan. Nenekku berkata, “tidak baik anak bungsu merantau, apa yang mau dicari?”. Kakakku berkata, “Tidak baik anak kecil merantau, anak perempuan satu-satunya pula?”. Saat itu aku menjawab, “aku ingin melihat Indonesia. Aku ingin mengajar anak yang benar-benar membutuhkan. Aku ingin, meski hanya sekali saja seumur hidupku, aku bermanfaat bagi negeri ini. Bukan hanya di lagu yang selalu dinyanyikan. Dan bukan hanya di artikel yang ditulis, dan bukan hanya kata-kata”. Ayah dan ibuku yang membujuk nenek dan kakakku agar percaya padaku. Setelah semua itu, akhirnya aku berada di kapal ini. Aku harus kuat dalam perjalanan ini, dan aku pasti kuat.

Sesampainya di dermaga Pulau Tagulandang, seseorang dari sekolah tempatku bertugas menjemputku. Beliau adalah kepala sekolah tempatku mengajar nantinya. Awalnya aku sedikit takut karena nada bicaranya yang meninggi saat menyapaku, ditambah mimik wajah yang cukup seram. Tapi sesampainya di rumah beliau, aku dipertemukan dengan istri beliau yang ramah dan baik hati. Dan kenyataannya, kepala sekolahku tidak seseram yang aku pikirkan. Aku menginap semalam di rumah ini, untuk keesokan harinya memulai perjalanan yang sesungguhnya.

Paginya aku bersiap ke sekolah dan rumah tinggal sementara di kampung yang bernama Bawoleu. Menurut bapak kepala sekolah, letaknya sekitar 13 kilometer dari pusat pemerintahan pulau Tagulandang ini. Saat keluar rumah dan hendak berjalan ke arah motor, seekor anjing tiba-tiba berlari sambil menggonggongiku. Aku spontan ikut berlari, dan lebih banyak lagi anjing mengejar di belakangku. Untungnya kepala sekolah mengertak mereka hingga kabur. Ah, benar-benar hari pertama yang menegangkan, tapi cukup seru.

Perjalanan menuju sekolah dimulai. Hari ini aku dibonceng kepala sekolah menaiki motor. Satu kilo meter pertama jalannya masih aspal dan datar. Memasuki kilo meter berikutnya, jalanan menanjak. Seterusnya menanjak, dan semakin menanjak, hatiku kecut. Tidak lama kemudian menurun dan terus menurun, curam sekali, jantungku rasanya tiba-tiba loncat. Untuk kemudian menanjak, dengan penampangan jalan bebatuan dan lobang sana sini. Seram sekali, sampai-sampai aku menutup erat mataku saking paniknya. Sampai tiba di tanjakan yang benar-benar tinggi, dan memang ternyata paling  tinggi di Pulau.

Kondisi Jalan Pulau Tagulandang yang Naik Turun Cukup Ekstrim (Dok. Pribadi)

Saat itu aku nekat membuka mata, karena motor yang kunaiki mendadak pelan sekali melaju.  Aku menengok ke kanan kiri, aku terpaku melihat sekitar, gila! Benar-benar gila, pemandangannya begitu menakjubkan. Ada biru laut berkilauan oleh terpaaan sinar matahari. Laut itu kian indah dengan kapal-kapal yang berlayar memecah lautan, melaju berlawanan arah menghiasinya. Ada gunung berkabut yang benar-benar indah. Mengganti ketakutan menjadi takjub. Aku seolah sedang berada di tengah permainan wahana yang memacu adrenalin, yang  di antaranya Tuhan menyelipkan keindahan yang tak terduga.


Sesampainya di kampung, aku masih merasakan kebahagiaan karena pemandangan  yang menakjubkan selama perjalanan. Meskipun, aku dibuat pusing sekaligus mual perutku. Dan puncaknya, aku tidak  bisa menahan diri dan muntah seturunnya dari motor. Pemilik rumah segera mengantarkanku ke kamar mandi. Kejadian memalukan itu justru terjadi di rumah yang akan aku diami selama setahun ini. Setelah duduk beberapa saat dan menikmati teh. Mual di perutku membaik. Tuan rumah yang memperkenalkan diri bernama Ibu Kangiras dan suaminya Bapak Togelang itu, nampak ramah. Mereka berdua adalah orang tua angkatku setahun ini. Dan yang malu-malu mengantarkan teh tadi adalah Adek Tita. Satu-satunya anak perempuan di keluarga ini yang  masih kelas 3 menengah kejuruan. Sebenarnya masih ada dua anggota keluarga lagi, yaitu dua anak laki-laki. Kebetulan keduanya sedang menempuh kuliah di Kota Manado.

Jujur, saat pertama mengetahui kalau daerah tempatku bertugas hampir 100% penduduknya berlainan agama denganku, hatiku takut sekali. Keluarga angkatku juga semuanya berbeda agama. Ditambah lagi, di dalam rumah ada anjing yang dibiarkan berkeliaran kesana-kemari. Suara babi peliharaan di belakang rumah,  dan suara lolongan anjing  dan hewan lainnya di malam hari.  Semua hal itu, aku tidak terbiasa, merasa terganggu. Belum lagi, air sangat sulit didapatkan. Hanya mengandalkan hujan. Sedangkan musim hujan masih beberapa bulan lagi.

Tidak hanya itu, sinyal handphone benar-benar lenyap di tempat ini. Listrik pun hanya ada dua hari dalam seminggu, itu nya.pun hanya lima jam. Sayangnya, saat aku datang, mesin listrik  diumumkan rusak. Aku terjaga sepanjang melewatkan malam di kampung bawoleu.  Memahami bahwa semua hal ini telah aku ketahui sebelum memutuskan berpartisipasi pada program ini. Tidak apa-apa. Aku meyakinkan hatiku bahwa semua akan baik-baik saja dan aku akan mampu melewati

Tanpa terasa fajar terbit, malam ini aku sempurna terjaga. Seusai sholat subuh, aku membuka jendela kamarku. Adek Tita yang berbagi kamar denganku menggeliat sesaat, tapi kemudian terlelap lagi dalam tidurnya. Matahari terbit, sinar keemasannya sedikit tertutupi awan-awan yang menggantung di antara bebukitan. Lihatlah kawan, kampung ini dikelilingi bebukitan dan gunung. Ini, yang baru aku sadari pagi ini. Tidak puas, aku keluar dari rumah, menerobos pagi yang dingin. Aku melihat ke sekeliling, kanan, kiri, depan, belakang, semuanya gunung dan bukit.

Menakjubkan, Ibaratkan ada sebuah gelas panjang, maka Kampung Bawoleu ini adalah bagian dasar gelas, yang tertutupi dinding-dinding tinggi kaca. Dinding-dinding gunung dan bukit melingkupi kampung ini. Seolah-olah, kampung ini terpenjara dari hingar bingar dunia asing. Jika kau ingin mengetahui hal di luar sana, maka kau harus keluar dari Kampung ini. Hal inilah yang aku pahami pada pagi ini, pagi pertama di Kampung Bawoleu.


Suasana Pagi Hari di Kampung Bawoleu yang Dikelilingi Bukit-Bukit

Hari pertama masuk sekolah pun tiba. Meski tak tidur semalaman, aku tetap bersemangat. Aku mengambil handuk dan kulilitkan di leherku. Saat hendak menuju kamar mandi, ternyata air di kamar mandi tidak ada sama sekali. Tidak mungkin hari pertama sekolah aku tidak mandi, pasti aku tidak akan percaya diri. Sebelum mandi, ternyata di kampung ini ada ritual wajib yaitu minum teh panas dan kukis (sebutan kue basah). Meminum segelas teh sebelum mandi berguna untuk mencegah masuk angin. Karena di daerah ini, udara sangat dingin, Saking dinginnya, di pagi hari kalian akan melihat hampir setiap orang memakai jaket dan kaos kaki. Aku, bapak, ibu, dan adek angkatku mengitari meja. Tidak serta merta menikmati hidangan, sebelumnya kami berdoa.

Doa di pimpin ibu angkatku. “Ya Tuhan, pagi ini kami bersyukur atas nikmat yang engkau berikan. Pagi ini Tuhan, di rumah ini kedatangan keluarga baru kami, Mbak Siti dari Jawa.Tolong Tuhan, Engkau sudi kiranya merengkuh adinda dalam tanganmu. Sehingga, setahun ke depan ananda bisa berbahagia dalam melaksanakan tugasnya untuk mendidik anak-anak di daerah ini. Engkau yang maha tahu Tuhan, keadaan di tempat ini pastilah tidak sama dengan di Jawa yang penuh dengan kecukupan. Tapi kami tahu Tuhan, dengan kuasamu yang tak terbatas, pastilah akan engkau hadirkan kekuatan untuk ananda di sini. Pun pula bagi orang tua yang ada di Jawa, hamba mohon engkau lingkupkan mereka yang jauh di sana dengan keselamatan tanpa kekurangan suatu apapun. Pagi ini tuhan, dihadapan kami telah terhidang makanan dan minuman. Sebelum kami menikmatinya. Sudilah kiranya engkau kuduskan dan sucikan. Sehingga darinya, kami akan memperoleh kekuatan yang baru yang boleh kami gunakan untuk beraktivitas hari ini. Amin”

Begitulah bunyi doa yang dipanjatkan dengan suara lantang dan khusyuk oleh ibu angkatku. Sehingga, saat mengamini doa air mataku jatuh tak tertahankan. Haru sekali rasanya. Tapi sebelum semua orang membuka mata mengakhiri doa, aku telah buru-buru menghapus air mataku. Di lain waktu, akulah yang memimpin doa sesuai keyakinanku. Setelah berdoa dalam bahasa arab, tidak lupa aku menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Menyenangkan sekali, toleransi yang indah dan penghargaan yang pantas bagi keyakinan masing-masing.


Kenangan : Aku bersama orang tua angkatku dalam sebuah acara  “Masamper”

Setelah teh dicangkirku habis. Ibu segera mengajakku ke parigi (sumur alami yang airnya berasal dari akar pohon besar) untuk mandi. Perjalanan menuju parigi tidak terlalu lama, hanya butuh sekitar 10 menit. Menuruni jalan sempit bebatuan yang di kanan-kiri ditutupi rumput-rumput liar. Aku berjalan pelan-pelan khawatir jatuh, karena batu yang licin dan takut kalau-kalau ada hewan di balik rumput-rumput liar itu. Ibu yang berjalan di depanku dan berhenti di sebuah lubang berdiameter 1 meter. Ia tersenyum dan memanggilku mendekati lubang itu.

Aku melihat dari dekat, lubang itu kira-kira memiliki kedalaman 2 meter. Di dalamnya berisi air yang benar-benar jernih. Saking jernihnya, kodok-kodok kecil dan cacing yang ada di dalamnya pun terlihat jelas. Aku sedikit jijik melihatnya. Tapi demi ibu yang bersemangat sekali menimba air dari sumur dengan kaleng bertali, aku tidak sempat lagi memikirkan perasaan jijik tadi. Aku tidak ada memiliki ide selain mandi dengan baju lengkap di badan, termasuk jilbab yang tidak aku tanggalkan. Melihat ini, ibu menyuruhku untuk membuka baju. Tapi aku tidak mau, meski tidak ada yang melihat selain ibu. Aku tetap tidak mau, aku malu. Mandi seperti itu, seperti hanya membahasi badan saja, aneh rasanya. Tapi lebih baik dari pada tidak mandi tentunya.

“Auu….” Tiba-tiba ada suara mengaum dan tapak kaki yang menuju parigi. Entah suara siapa aku tidak tahu. Yang jelas, itu suara manusia “Auu…” balas ibuku mengaum. Aku melongo, mengisyaratkan tanya pada ibuku. “Itu ada orang mau datang ke sini. Sebelumnya dia mengaum untuk bertanya, apakah ada orang di sana. Kalau ada, aku akan mengantri di sini. Ibu pun membalas, seperti mengatakan, masih ada orang di sini tunggu sebentar. Begitu”. Aku merasa komunikasi seperti itu cukup efektif. Jadi, bila ada yang mandi di parigi, orang yang akan datang bisa menunggu. Aku takjub, dalam kesederhanaan seperti ini ada kemewahan hubungan masyarakat yang indah.

Hari pertama sekolah, murid-murid yang aku temui antusias sekali. Meski awalnya mereka heran karena aku seorang muslim dengan baju tertutup dan berkerudung, setelah beberapa hari mereka terbiasa. Aku merumuskan masalah murid-muridku, yaitu tidak bisa membaca, tidak mengerti pramuka, gagap pengetahuan tentang komputer, dan malas mengerjakan PR. Dalam setahun kedepan, aku harap mereka bisa berubah. Dan untuk mewujudkan hal itu, aku larut dalam kesibukan. Pendekatanku terhadap warga pun terbilang sukses. Mereka tak segan melibatkanku dalam berbagai kegiatan kampung. Pun lagi, mereka menyambut hangat program-program yang aku buat di kampung. Salah satunya senam sehat.

Tidak terasa, sudah satu bulan aku mengajar di pedalaman. Satu bulan tanpa listrik, jaringan komunikasi, dan air di dalam rumah. Satu bulan, waktu yang cukup untuk mengenal lingkungan sekitar. Waktu yang cukup untuk mengerti sedikit bahasa suku Sangihe. Hari ini dengan bangga aku tersenyum. Aku bukan aku yang dulu. Saat ini, aku bisa mencari kayu bakar di hutan meski seorang diri. Aku juga hafal jalan ke sumur untuk menimba air. Aku pun terbiasa tanpa jaringan komunikasi. Pun mulai bisa berdialek daerah setempat.

Meski mulai terbiasa, tapi sesekali aku tetap merindukan rumah. Untuk itu, aku selalu minta dipegangi Tuhan. Pada-Nya, aku berharap untuk dilindungi dan dikuatkan. Pada-Nya aku meminta penjagaan bagi orang-orang yang kusayangi. Pada-Nya kutitipkan rindu bagi orang tua, kakak, dan bagi teman-temanku. Dan hari ini, tepat satu bulan aku menjadi perantau. Untuk pertama kalinya, aku akan pergi ke dermaga Pulau Tagulandang. Meluangkan hari libur sekolah untuk satu alasan, mencari jaringan (sinyal) untuk handphone. Aku ingin memberi kabar orang tua di Jawa, bahwa di sini aku baik-baik saja. Hanya itu yang aku bisa lakukan untuk mengobati rindu. Pula, untuk kembali mengisi kekuatanku menghadapi hari-hari 11 bulan yang masih menjadi misteri.

Sedari pagi aku menunggu tukang ojek yang sudah kupesan semalam. Di daerah ini memang sulit sekali menemukan alat transportasi. Hanya ada ojek dan mobil angkutan pada hari tertentu. Kebetulan hari ini tidak ada mobil. Ojek pun hanya ada satu dua buah. Itu pun kita harus memesan dulu malam sebelumnya. Maka ketika ojek yang ditunggu telah datang. Aku tidak sabaran untuk naik. Meski ada sedikit rasa khawatir karena kondisi jalanan menanjak berbatu dengan lobang di sana-sini. Tapi di satu sisi, ku pikir masyarakat Bawoleu beruntung. Mereka tidak perlu membayar mahal untuk menaiki wahana pemacu adrenalin di taman hiburan.  Yah, karena perjalanan semacam ini jauh lebih seru dan menegangkan.

Motor mulai melaju, jalanan berlobang mengguncang-guncang badanku. Jalanan menanjak, motor berderu. Tak berapa lama, jalanan menurun tajam, badanku bergetar ketakutan. Untuk kemudian kembali menanjak, terus, terus, dan terus. Semakin menanjak jalanan, angin yang menerpa semakin kencang. Sampai pada titik saat motor membawaku sampai pada puncak. Di situ, aku bisa melihat dermaga dari kejauhan. Aku bisa melihat biru laut berpadu dengan gunung-gunung hijau yang kokoh berdiri. Awan, matahari  dan langit berpadu menjadi satu. Di sini, aku melihat betapa indahnya Indonesia. Sangat-sangat indah. Harga yang sesuai untuk perjalanan yang cukup menegangkan. Aku sangat bahagia.

Saat tiba di dermaga, keindahan yang tadi terlihat dari jauh semakin jelas di depan mata. Tentu saat pertama kali datang menginjak pulau ini aku sudah pernah ke sini. Sayangnya, saat itu belum sempat menikmati keindahan pemandangan. Karena saat turun dari kapal, aku langsung di jemput kepala sekolah. Dermaga Tagulandang yang indah, biru laut berpadu putih ombak yang bergumul di lautan. Berhadapan dengan biru langit berhias awan-awan putih menggumpal. Serasi sekali, seolah dua sejoli saling menatap hikmat. Aku jadi berpikir, sepertinya teori percintaan bumi dan langit itu salah. Lihatlah, langit sedang asyik berpandangan dengan laut. Seperti pasangan kekasih yang berbaju senada. Biru putih. Aku semakin yakin, langit bukan pasangan bumi. Tapi langit adalah kekasih laut.


Pesona di Sekitar Dermaga Pulau Tagulandang di Pagi Hari (Dok. Pribadi)

Dan ya Tuhan, ponselku berdering. Di tempat ini ada jaringan komunikasi satu dua batang. Aku bergegas menelepon orang tua, kakak, dan teman-temanku. Mereka senang sekali mendengar kabarku, setelah satu bulan lamanya. Meski cuma satu atau dua batang sinyal, itu sangat berarti. Menelepon sambil menikmati pemandangan indah dengan back sound debur ombak dan bunyi peluit kapal sangat menyenangkan. Apalagi, perjuangan mencapai tempat ini tidaklah mudah. Rasanya sangat bahagia. Kisah ini terjadi sekitar bulan September 2014 di pedalaman Sulawesi Utara. Kisah perjalanan yang paling menyenangkan.

Jadilah, setiap ada libur yang memungkinkan untuk ke dermaga. Aku ke sana untuk memberi kabar keluarga. Yang pasti rutin sebulan sekali aku pergi. Pun lagi, sepertinya aku kecanduan menikmati sensasi perjalanan menuju dermaga. Sampai pada bulan ketiga menjadi relawan guru, lewat sebuah telepon aku tahu kalau aku telah dikhianati.  Saat telepon berakhir, aku berpikir bahwa mungkin aku sedang patah hati. Aku memandangi sekitar dermaga, aku berpikir langit memang awalnya berpasangan dengan bumi. Lalu, karena bumi terlalu berbeda dengannya, pun jarak langit bumi terlalu jauh atau entahlah. Yang jelas langit berpaling dan memilih bersama laut.

Setelah kejadian itu, aku tetap sering meluangkan liburan sekolah  menuju dermaga. Walau betapa hatiku sakit ketika patah hati di dermaga itu, tetap ada awan dan biru langit yang mempesona, tetap ada debur ombak yang bergulung manja, dan tetap ada gunung hijau yang berdiri tegak. Yang lebih penting, ada sinyal yang bisa menghubungkanku dengan keluarga. Menceritakan pada mereka bahwa murid-muridku sudah pandai membaca, sudah mengerti cara mengoperasikan komputer, dan mampu mengibarkan bendera.

Dalam keseluruhan perjalanan ini, tentu saja aku mendapatkan banyak hal yang tidak pernah aku dapatkan ketika di rumah. Pertama, aku mendapatkan kesempatan mengajar murid yang benar-benar membutuhkan guru, persis seperti yang aku impikan. Kedua, kesempatan berada di ujung utara negeri Indonesia dan berbaur dengan orang yang berbeda agama, adat, suku, dan bahasa.  Dalam segudang perbedaan itu, kami tetap bisa bahagia bersama. Ketiga, melakukan hal-hal di luar kebiasaan seperti mencari kayu di hutan, mandi di alam terbuka, dan hidup tanpa gadget. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya dalam diri masing-masing orang tertanam kekuatan yang tak terbayangkan besarnya.


Kebersamaan dengan Murid dan Orang Tua saat Piknik di Pantai

Keempat, merasakan rindu serindu-rindunya. Di daerah tanpa sinyal, dimana gadget tidak mampu berfungsi, dan jarak begitu jauh dengan orang tua dan keluarga. Kita bisa menghargai, betapa kebersamaan dengan mereka merupakan sesuatu yang berharga. Kelima, mendapatkan banyak cinta dalam persaudaraan dengan masyarakat sekitar. Meski kami bukan saudara sedarah atau seiman, kami adalah saudara di dalam Tuhan. Yaitu, saudara yang dengan takdir Tuhan untuk bertemu, dan hidup dalam kebersamaan.


Aku dan Soloi (Alat untuk Mengangkut Hasil Kebun dan Sejenisnya, Terbuat dari Bambu)

Ini adalah kisahku, kisah perjalanan indah yang berakhir dengan bahagia. Karena munurutku, bahagia adalah bisa melihat murid-murid yang aku ajar menjadi pribadi lebih baik dari sebelumnya, seperti anggan-anggan yang selama ini aku impikan. Bahagia karena, apa yang aku cita-citakan telah terwujud. Meski kebahagiaan ini harus dibayar dengan kehilangan seseorang dalam hidupku. Tidak mengapa, karena datangnya pemahaman baik terkadang harus melalui hal-hal yang menyakitkan.


Berpartisipasi dalam Pesta Adat Tulude

Seperti yang dikatakan Ollie dalam bukunya Passport to Happiness : Bagiku happy ending adalah saat kita berbahagia dan berdamai dengan situasi, dilihat dari sudut pandang kita sendiri, bukan orang lain (halaman 15). Lebih jauh, buku ini bercerita tentang kisah nyata perjalanan penulis di 11 kota di dunia untuk menemukan kebahagiaan. Banyak makna hidup dan pencerahan yang didapatnya dari hasil perenungan dan pengalaman yang berharga di 11 kota itu. Buku ini sangat bagus untuk referensi bagi kita yang sedang mencari apa sesungguhnya arti kebahagiaan.


Comments