Anak-anak, usia yang kukira mereka
bisa bebas, belum merasakan banyaknya tanggung jawab layaknya orang dewasa.
Mereka bebas bermimpi, bercita-cita, tidak ada yang melarang, tepatnya belum
ada hal yang membuat mereka tidak boleh kelak jadi ini itu. Hari ini sabtu
pagi, aku akan mengisi kelas pengembangan diri dan tema yang kuambil adalah
cita-cita. Aku suka memulai semuanya dengan menanyakan cita-cita. Karena
biasanya anak-anak akan dengan bersemangat dengan hal itu.
Ya, seperti yang kuduga, murid-murid
yang terdiri dari kelas IV, V, dan IV ini dengan bersemangat mengatakan
cita-citannya, nyaris berteriak, saking bersemangatnya. Kumpulan anak laki-laki
banyak yang bercita-cita menjadi tentara, meski ada beberapa pula yang
mengidamkan menjadi polisi dan pilot di masa depan. Berbeda dengan murid
laki-laki, murid perempuan mengaku ingin menjadi dokter, perawat, bidan, dan
guru.
Di tengah riuhnya kelas, kini tiba
seorang murid berperawakan kurus tinggi. Kulitnya putih dan rambutnya rapi yang
nampak diolesi minyak rambut. Anak ini dari kelas IV, sehari-hari periang
seperti anak-anak lain. Namun hari ini berbeda, saat kutanya apa cita-citanya,
dia hanya duduk menundukkan kepala.
Aku berjalan mendekati tempat
duduknya dan bertanya, “Ebi kamu sakit?”. Yang ditanya hanya menggeleng
singkat. Lalu kutanya lagi, “lalu kenapa Ebi?”. Ebi memandangku sebentar dan
berkata, “Ebi orang miskin Ibu, bolehkah bercita-cita?. Mama Ebi bilang,
cita-cita mahal harganya Ibu”.
Setelah itu, aku mengatakan kepada
murid-muridku bahwa cita-cita tidak hanya diraih dengan uang. Pun aku berikan
contohnya, sekolah tidak perlu diraih dengan uang. Karena di kepulauan ini,
sekolah dari jenjang SD sampai dengan SMA gratis. Cita-cita akan dapat kita
raih dengan kesungguhan belajar, berusaha, dan berdoa. Tidak ada yang boleh
takut bercita-cita, karena Tuhan akan memberikan yang terbaik sesuai usaha dan
doa umatnya.
Di salah satu sudut ruangan itu, aku
melihat Ebi memperhatikan dengan sungguh-sungguh perkataanku. Hatiku basah, air
mata mengalir deras di sana, tapi aku biarkan mengalir di sana, sedang di
hadapan mereka aku akan tegar. Mereka selalu menunggu guru-guru mereka untuk
memberi semangat dan suasana riang gembira. Aku berjanji, kalau hari ini Ebi
masih belum mempunyai cita-cita. Besok atau lusa, ia akan berani
menggenggamnya.
* Bawoleu, 2015
Comments
Post a Comment
Terima kasih telah memberikan komentar. Tunggu kunjungan balik saya ke Blog teman-teman :)