Kebiasaan “Baku Piara” dan Konsekuensinya di Pulau Tagulandang


Tidak dipungkiri, Indonesia memang kaya akan adat kebiasaan yang melingkupi masyarakatnya. Berbeda pulau, artinya berbeda pula adat kebiasaan yang ada di masyarakat. Pun, juga di Pulau Tagulandang. Suatu hari seorang murid bertanya kepadaku, “Ibu Siti, apakah di Jawa boleh baku piara?” Lama aku termenung sekedar untuk menjawab pertanyaan ini. Lalu aku berbalik bertanya, kenapa muridku bertanya hal itu.
Lebar senyum ia sunggingkan dan berkata, “Hanya ingin tahu ibu, apa di Jawa sama dengan di sini”. Lalu kujawab tidak diperbolehkanbaku piara di Jawa. Pertanyaan mereka berlanjut, “Mengapa nyanda(tidak) boleh Ibu?” Lanjut kujawab dengan kerugian-kerugian yang akan didapat saat melakukan hal itu.
            Baku piara, atau bisa disebut berpelihara adalah salah satu kebiasaan yang ada di masyarakat Pulau Tagulandang Kabupaten Kepulauan Sitaro Provinsi Sulawesi Utara. Bakupiara adalah berkumpulnya laki-laki dan perempuan asing (tidak ada ikatan persaudaraan) dalam satu rumah. Keduanya menjalani kehidupan layaknya suami istri. Hal ini sah-sah saja terjadi di tengah-tengah masyarakat Pulau Tagulandang, bahkan ada yang sampai puluhan tahun menjalaninya, hingga mempunyai anak bahkan cucu.
Kebiasaan ini sudah terjadi sejak lama dan turun-menurun sampai saat ini. Hal ini diakui Mama Febi, salah seorang warga yang ternyata tidak merasa terganggu atau pun risih dengan adanya kebiasaan baku piara. “Kalau memutuskan untuk tinggal bersama, artinya laki-laki secara langsung sudah mempunyai tanggung jawab terhadap perempuannya, begitu juga sebaliknya,” ungkap Ibu satu anak itu.
Meski tidak dilarang dalam masyarakat, namun kebiasaan baku piarasecara tersirat disarankan tidak dilakukan oleh agama setempat. Larangan tersirat itu salah satunya diwujudkan dengan tidak diperbolehkannya seseorang yang melakukan baku piara untuk mengikuti perjamuan (warga hampir 99% beragama kristen). Tidak hanya itu, nama anak yang dilahirkan dalam baku piara mengikuti marga dari ibunya, bukan lazimnya yang mengikuti marga ayah. Setelah keduanya mendaftar resmi di catatan sipil, maka barulah nama anak mengikuti marga ayah.
Pada beberapa kasus, orang-orang yang menjalani baku piara dan berpisah sebelum menikah dan memiliki anak, maka seterusnya nama anak mengikuti marga ibunya. Dan biasanya sampai dewasa, mereka akan diketahui sebagai anak hasil baku piara. Selain itu, ada beberapa orang yang tiba-tiba ditinggalkan pasangannya selama masa baku piara. Tentu saja, mereka tidak bisa menuntut apapun. Ada beberapa alasan yang menyebabkan masyarakat melakukan baku pelihara, dan tidak menikah. Salah satunya adalah karena tidak disetujui oleh pihak keluarga, atau bisa juga karena terkendala dana pernikahan.

*Bawoleu, 2015


Comments