Satu
tahun, tidak terasa waktu menjadi bagian dari Program SM-3T telah saya lalui. Ada
banyak hal yang saya dapatkan, yang tidak mungkin diperoleh di tempat lain.
Saya belajar banyak tentang bagaimana menghadapi perbedaan agama, suku bangsa,
dan adat istiadat. Bagaimana belajar menjadi kuat, belajar konsisten, tanggung
jawab, bahkan belajar tertawa di dalam tangisan.
Hari
itu, adalah hari pertama saya menapaki tanah pengabdian, Mandolokang (Pulau
Tagulandang) namanya. Tiba di daerah di mana muslim merupakan kaum minoritas
menimbulkan keheranan bagi warga sekitar. Melibat lambaian jilbab saya oleh
angin, ada beberapa anak kecil berteriak, “orang Islam, orang Islam..”.
Ditambah lagi, di sekitar tempat saya tinggal,
berkeliaran- maaf ‘anjing dan
babi’, hati saya kecut, sempit rasanya, ada hening yang tidak enak muncul.
Malam
itu, hening yang tidak enak muncul. Ingin rasanya menelpon keluarga di rumah.
Sayangnya, tidak ada sinyal di Hp saya. Tidak ada listrik pula, dan tidak ada
air untuk sholat di dalam rumah. Malam itu, saya belajar sepi yang paling sepi.
Sendiri yang paling sendiri. Tapi kemudian, teringat banyak hal yang saya
pelajari saat prakondisi, bagaimana bertahan di dalam keterbatasan. Menyadari
hal itu, saya bangkit.
Hari
ini Rabu, 5 Agustus 2015. Hari perpisahan saya, hari terakhir di Tanah
Mandolokang. Saya bukan Siti yang dulu, yang takut gelap, Siti yang
sedikit-sedikit menangis, bukan, itu bukan saya. Saya yang sekarang, sudah bisa
pergi berkali-kali mengangkat air dari Tumtepa (Sumur yang sumbernya dari akar
pohon) untuk mengisi bak kamar mandi di rumah. Siti yang sekarang, bisa mencuci
dengan cepat, bersih, dan rapi tanpa setrika (taruh baju di bawah bantal, lalu
pakai tidur), Siti yang mencari kayu bakar ratusan meter dari rumah dan
mengangkatnya dengan Soloi (Tempat pengangkut dari bambu, mirip tas punggung).
Terima
kasih SM-3T atas segala pengalaman yang diberikan. Kami belajar banyak, dan
kami belajar memberi apa yang kami punya. Tanpa saya sadari, banyak hal kecil
di dalam hidup saya yang ternyata bermanfaat untuk orang lain. Jika di
Pasuruan, kemampuan Bahasa Inggris seperti saya bukan menjadi apa-apa. Tapi di
daerah terpencil, sekedar belajar kosa kata bahasa Inggris adalah hal yang luar
biasa.
Melihat
tawa murid, ketika belepotan mengeja abjad dalam lafal bahasa Inggris. Melihat
stress guru-guru saat saya ajar menggoperasikan laptop, melihat mereka tertawa
bisa mengetik namanya di dalam Microsoft Word. Melihat orang-orang heran, tidak
tega, ketika saya ikut mencari kayu, mengangkut air. Melihat para orang tua
antusias melihat anaknya mendapat pelajaran tambahan di luar jam sekolah.
Mendengar tawa mereka saat anak-anak belajar pramuka, baris-berbaris, bahkan
saat saya ajar teknik dasar Silat.
Bagaimana
di sana saya belajar bahasa setempat, dan bersahutan dalam logat yang asing.
Kenangan saat kerja bakti membersihkan gereja, kenangan mendapat kesempatan
berkotbah tentang Islam di dalam gereja. Belajar bermain musik keroncong,
belajar masamper. Semua memang sudah berlalu, tapi tidak terlupakan. Apa-apa
yang saya dapat dari SM-3T, dari Sitaro, dan semua keluarga di Pulau ini akan
terus terkenang. Bahkan menjadi pelajaran terindah yang saya percaya akan
bermanfaat di kehidupan masa depan saya dan anak-anak luar biasa di Pulau ini.
/
Terima
kasih SM-3T, Terima Kasih Sitaro.
Salam
hangat untuk Keluarga Makakombo-Makasenda, Togelang-Kangiras,
Kaseside-Antameng, Jacobs-Papuko, dan semua warga di Kampung Bawoleu, Bulangan,
Mohongsawang, Kisihang, Laingpatehi, Pumpente, Lumbo. I love you all
*Bawoleu,
2015
Comments
Post a Comment
Terima kasih telah memberikan komentar. Tunggu kunjungan balik saya ke Blog teman-teman :)