Teman Tapi Menikah: Karena Tak Selamanya Jarak Itu Memisahkan

Semakin lama memaknai hidup, kita akan semakin memahami bahwa tak pernah ada ‘kebetulan’ di dalam hidup ini. Satu peristiwa menjadi sebab terjadinya peristiwa lain, lantas peristiwa lain itu juga menjelma sebagai sebab peristiwa lainnya. Begitu seterusnya hingga saat aku menulis cerita ini. Dan kamulah sebabnya, dan sungguh ini bukanlah kebetulan.  Sebelum aku menuliskan ceritamu, izinkan aku berterima kasih untuk akhir bahagia yang kau rajut bersamanya. Sungguh, terima kasih.


**
Pagi ini, 21 Mei 2017 kalian akan mendengar namaku lantang disebutkan oleh seorang pria. Dan konon, bumi dan seisinya akan terguncang sebab ikrar yang diucapkan lelaki itu di hadapan semua orang ini. Aku tak tahan menahan ledakan berbagai perasaan yang buncah di dada ini. Perasaan ini pun melemparku pada kenangan masa lalu yang membuatku takjub, terkesima, dan merasa bodoh tentunya. Ah, butir asin satu persatu meluncur dari pipiku, lelaki itu tak pernah asing. Bahkan sejak hari pertama aku lahir.

Aku lahir dengan nama Durrotun Nasihah, sungguh harapan, doa, dan keinginan orang tuaku tumpah di nama itu. Aku lahir di tahun 1990 di mana belum ada tren selfie, atau vlog. Bersyukur sekali sebab ini membuat orang tuaku benar-benar sibuk menyaksikan tumbuh kembangku, tak lantas sibuk memotret atau memvideo ini itu. Seperti anak 90an lainnya, masa kecil aku jalani dengan riang gembira. Bermain ke sungai, main kejar-kejaran dengan teman sebaya, dan bebas radiasi smartphone dan WiFi yang kabarnya tidak baik untuk pertumbuhan.

Di sekitar usia 7 tahun, aku telah memiliki banyak teman lelaki dan perempuan. Dan entah kenapa dari sekian banyak nama yang membuat sebal adalah dia yang bernama Ubait. Hari-hari bermain yang menyenangkan menjadi kelam, aku pun jadi malas kalau bocah itu muncul. Bukan mengapa, bocah lelaki itu nampak tak peduli aturan. Bermain pun seenaknya sendiri, maka jangan salahkan aku kalau hanya memandangnya sebelah mata. Meski kerap bermain bersama, aku diam-diam memendam kesal padanya. Meski kesal sampai ubun-ubun rasanya, aku tetap diam agar tak sampai membuat masalah.

Waktu merambat cepat, seragam merah putih berubah biru putih, berubah lagi abu-abu putih dan begitu seterusnya. Aku tumbuh menjadi wanita yang sedikit kasar, ceplas ceplos, dan terkadang menyebalkan. Aku hanya menyebutkan kekurangan, kalau kelebihan namanya sombong bukan? Hehehe. Hah, satu lagi yang tak ketinggalan, aku sempat mendapat label cewek tomboi. Namun sekali lagi, waktu berjalan dan pelan-pelan mengubah semua perlahan-lahan. Meski mengenyam pendidikan di tempat berbeda, persahabatan dengan teman masa kecil dan sekolah tak banyak berubah. Kami masih kerap bersama, meluangkan beberapa waktu seperti anak muda lainnya.

Di tahun 2009, aku dan teman-teman masa kecilku tumbuh menjadi orang yang mulai berbeda. Banyak  yang berubah, termasuk teman yang dulu aku benci setengah mati. Diam-diam aku mengagumi Ubait, bocah masa kecil yang menyebalkan. Lihatlah, dia kini nampak dewasa. Kata-katanya, tingkah lakunya, dan kharismanya, ah… aku bisa gila. Entah bagaimana aku tiba-tiba suka dan hatiku jatuh begitu saja padanya. Sumpah ini seperti cerita klise di FTV, namun bagaimana aku menolak jika itu kenyataannya. Mengingat hal ini membuatku ingin bersembunyi di ujung dunia saking malunya.

Tapi bukanlah cinta namanya bila hanya aku saja yang menginginkannya, dia telah memiliki pujaan hati yang teramat cantik. Aku pun hanya bisa pasrah dan berusaha mendukung hubungan sahabatku ini dengan kekasihnya. Sambil diam-diam berharap agar mereka putus saja, ah Tuhan maafkan aku, harapan macam apa itu. Aku pun akhirnya memilih orang yang juga memilihku, dan berusaha melupakannya meski jujur tak pernah bisa.

Tahun berganti menyusul waktu yang berlalu, banyak hal terjadi dan Ubait tiba-tiba putus dengan kekasihnya. Aku pun sama. Kami masih berteman, dan entah bagaimana cerita ini berjalan hingga di 9 Juni 2013 kami berdua memutuskan untuk menjalin kasih. Tapi sayang, baru berjalan beberapa bulan kisah ini berakhir tanpa alasan yang jelas di 28 November tahun yang sama. Sumpah, putus cinta dengan cara ini membuat isi otakku tumpah ruah, hidup pun tak berarah. Dan jadilah sebuah keputusan besar dalam hidupku, merantau ke luar Jawa.

Mengutip kalimat penulis Tere Liye, “Hanya dua alasan yang membuat seseorang memutuskan pergi sejauh mungkin. Satu karena kebencian yang amat besar, satu lagi karena rasa cinta yang amat dalam”, dan sepertinya aku pergi ke pedalaman Sulawesi Utara karena dua hal itu sekaligus. Beratnya kehidupan tanpa sinyal handphone, tanpa makanan enak, dan minimnya fasilitas malah bak berkah. Aku menikmati mengajar anak-anak di sana, dan tanpa sadar banyak pelajaran yang aku ambil. Aku akui tidak mudah untuk bertahan, tapi adanya murid yang ceria dan teman yang selalu mendukung menjadikan semua hal lebih mudah.
Tahun 2014 perlahan-lahan merangkak, hari-hari terlewati dengan duka dan suka. Ingatan tentangnya masih betah singgah. Dan pada satu hari dia menghubungiku kembali, aku tak bisa begitu saja menampik. Hari berlalu dan kami semakin sering berkomunikasi. Malah saat aku sakit, dia membantuku dengan mengirim obat dan beberapa kaleng susu. Pada akhirnya di 10 Oktober 2014 kita memutuskan kembali bersama, meski hanya bersama lewat pesan dan telepon saja. Uniknya, ternyata jarak bukannya memisahkan, sebaliknya menyatukan kami lagi. Dan setelah itu, kami masih sama seperti saat berteman dulu. Kadang saling benci, saling sebal, tapi akhirnya saling memaafkan.

“Sah? Sah”, bunyi itu membuyarkan film kenangan masa lalu yang kuputar. Dan hari ini, kami telah memutuskan hubungan pertemanan yang telah lama terjalin. Tapi tak mengapa, sebab status baru yang kami sandang terlihat akan lebih menyenangkan. Dialah suamiku, bocah kecil puluhan tahun lalu yang diam-diam membuatku sebal bukan kepalang.
Sungguh, jodoh itu memang rahasia dan kamu mungkin bisa tak percaya dengan “sosok” yang mungkin tiba.

Selamat menikah, Durrotun Nasihah dan M. Ubaitur Rozaq.
(Penulis dan Alumni PPG Matematika UM 2016)



Comments

  1. Aku cinta kamu sitiii...tulisanmu luar biasaahhh...tapi kenapa kita tak bisa padu kalau nulis bareng?

    ReplyDelete
    Replies
    1. entahlah pik, mungkin kurang serius dan terbatasnya waktu.. hihi

      Delete
  2. so swiiit mbaak. jodoh memang gak kan kemana, bahkan kita sendiri gtw siapa jodoh kita. bisa jadi teman masa kecil.

    keren mbaak. ini kisah nyata kn mbk?

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih telah memberikan komentar. Tunggu kunjungan balik saya ke Blog teman-teman :)