Unpredictable Love : Karena Tuhan Yang Tahu, Dipundak Siapa Sepantasnya Aku Halal Bersandar **

Tanpa sadar, kadang penglihatan kita seolah buta. Tidak bisa meraba apa yang Tuhan inginkan. Jalan cerita yang telah baik-baik Tuhan rencanakan, dengan mudah kita menyebutnya kebetulan. Dan saat ini, aku baru mengerti bahwa di dunia ini hakikatnya tak pernah ada kebetulan.

Yang ada, Tuhan merangkai indah jalan hidup  kita hingga sampai pada tujuan. Meski di perjalanannya, kadang kita tersesat, salah menafsirkan sesuatu, dan lebih percaya pada yang kita inginkan. Bukan pada apa yang Tuhan rencanakan. Saat ini aku paham, jalan yang dipilih-Nya adalah yang terbaik untuk semua. Untukku, kamu, dia, dan mereka. Pun dengan pernikahanku ini.

Sebelum aku menceritakan kisah panjang ini, kenalkan namaku Anisa. Terima kasih pada semua orang yang pernah hadir di hidupku sebagai teman, sahabat, atau sekedar pendengar keluh kesah. Entah kalian hanya singgah sementara maupun tetap menjadi sahabat hingga kini, terima kasih. Terkhusus untuk suamiku, Mas Mubarok. Lelaki yang dengan sabar menjahitkan koperku yang tetiba lubang kala itu. Pun kini, menjahit sempurna luka hatiku hingga tumbuh hati baru yang lebih segar. Aku mencintaimu karena Allah.

***
Aku tidak kaget  jika banyak yang terheran-heran dan mengatakan, ‘lho kok iso ya Anisa nikah karo Bang Barok? Bukane bla.. bla.. bla.. Lha kapan mereka dekatnya?” Sekali lagi aku maklum. Sebab bahkan aku sendiri baru tersadar, bahwa kedekatan kami memang telah dirancang oleh Tuhan di waktu yang amat jauh. Terlalu halus isyarat Tuhan, karenanya aku tak sampai bisa merasakan. Baiklah, ketimbang kalian penasaran, aku akan bercerita sedari awalnya.

Perkenalan dengannya bermula saat tes wawancara program Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T) di Malang. Aku diperkenalkan oleh temanku bernama Kak Rosi. Aku yang merasa tidak mengenal siapa-siapa di lingkungan baru itu berasa aman setelah setelah memiliki teman seperjuangan yang sedaerah denganku. Ya, aku dan Mas Barok sama-sama bertempat tinggal di Jember.

Kami berdua lolos dan akan melakukan pelatihan di area militer di Malang. Aku pun berinisiatif mengajak Mas Barok berangkat bersamaku. Dia pun mengiyakan dan kami berangkat bersama. Sebelum berangkat, Mas Barok menghampiriku ke rumah dengan ayah, ibu, dan keponakannya. Karena Mas Barok temanku, ibuku spontan menitipkan aku ke dirinya. Ibuku berkata, “Nitip Anis”. Hal itu didengar ayah Mas Barok yang kemudian berkata, “jagain anak itu”. Saat itu, jujur aku tidak merasa ada yang aneh dan wajar saja hal semacam itu.

Setelah beberapa waktu di camp pelatihan, saatnya pengumuman lokasi pengabdian. Dan ternyata, aku dan Mas Barok ditempatkan di Kabupaten yang sama, Manggarai NTT. Terbanglah rombongan kami ke provinsi itu dan singgah di hotel di NTT. Nahasnya, malam itu koperku sobek. Mas Barok malam-malam itu pun berinisiatif menjahitkannya untukku. Kala itu aku sangat berterima kasih dan terkesan, tapi tidak terpikir hal-hal semacam jodoh atau apapun. 

Saat pengumuman tempat tugas, kita berdua ternyata satu kecamatan meski berbeda kampung. Saat itu, aku berpikir mungkin hanya kebetulan saja. Di penempatan, kami berhubungan biasa saja seperti teman yang lain, tidak ada yang istimewa. Malahan, Mas Barok di penempatan memiliki banyak teman wanita yang lebih dekat kepadanya ketimbang aku. Setelah setahun pengabdian berlalu, dan kita berdua sama-sama kembali ke Jawa. Tidak ada hal spesial terjadi. Pun hingga waktu kuliah Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk kami yang baru mengabdi di pedalaman berlangsung, kami tidak dekat.

Sepanjang perjalanan kuliah PPG, aku disibukkan dengan berbagai kegiatan. Pun sibuk dengan berbagai perasaan pada mereka yang kubenarkan sendiri. Aku hanya sibuk beringin dan terluka oleh keinginanku sendiri. Mungkin aku tersesat, salah menyangka mana pangkal dan mana ujung. Tapi sejujurnya, aku tidak pernah menyesal atas perasaan yang pernah singgah meski hanya sementara. Karena aku sadar, aku tidak mungkin memiliki perasaan tanpa Tuhan pula yang mengizinkannya.

Namun kupikir saat itu, mungkin Tuhan sedang menguji hamba-hambanya. Saat aku terlalu ingin pada sesuatu, lantas tak sengaja mengabaikan keinginan Tuhan, maka disitu aku ditimpakan luka. Luka yang membuatku tersadar, bahwa manusia hanya sekedar mampu berkeinginan dan berencana. Dan keinginan manusia, kadang tak baik untuk dirinya sendiri. Sebab itulah, pada akhirnya Tuhan akan mengembalikan kita pada rencana terbaik yang dirancang-Nya.

Kembali pada ceritaku dan Mas Barok, sampai aku akhirnya wisuda, aku melihatnya menemani wisuda teman-temannya yang lebih banyak perempuan. Saat itu tidak ada yang berbeda, hubungan kami sama saja seperti dulu. Tidak spesial. Setelah wisuda, aku memutuskan untuk bekerja di Pare. Dua minggu berlalu, entah ada angin apa tiba-tiba Mas Barok mengajakku untuk ke jenjang hubungan yang serius. Aku kaget bukan kepalang, sebab selama ini aku dan dia tidak pernah sekalipun membicarakan hal semacam itu.

Tapi meski dalam keadaan kaget campur shock, entah kenapa aku tiba-tiba menjawab pertanyaannya dengan “datangi waliku”. Waktu merambat cepat, dan dua bulan berlalu. Aku dan dia tidak intens berkomunikasi, pun kami berdua tak pernah bertemu dalam rentang waktu itu. Akhirnya, tanggal 9 Mei orang tuanya mendatangi rumahku dan membicarakan hubunganku dengannya. 12 Mei, aku memutuskan resign dari pekerjaan dan tanggal 13 Mei orang tuaku balas ke rumahnya. Aku dan dia bertemu lagi tepat pada 15 Mei. Selanjutnya, disepakati tanggal 18 Mei diadakan acara lamaran dan tanggal 21 Mei keluargaku juga ke rumahnya untuk membicarakan tanggal pernikahan.  Dan 24 Agustus lalu, kami sudah sah menjadi sepasang suami istri.

Semuanya berjalan seperti air mengalir, keraguan padam sebab seolah Tuhan menggerakkan hati kami berdua. Setelah semua berlalu, pelan-pelan ingatanku sampai ke masa lalu. Seolah kita berdua memang direncanakan untuk bersama. Misalnya, dulu saat bertugas di NTT, malam hari aku dan Mas Barok pernah sama-sama ambil air dan jatuh. Tapi Mas Barok terluka dan aku tidak. Aku tertawa sendiri kala mengenang kejadian lucu itu. 

Dan ada satu momen di sela-sela sebuah acara saat Mas Barok menjadi MC, entah untuk siapa kata-kata itu, tapi kebetulan saja aku mengingatnya dengan jelas. Ia berkata, “Semoga secepatnya diberi keberanian untuk semuanya. Berani meminta dan diminta” Tiba-tiba saja peserta acara memanggil-manggil namaku saat ada seseorang yang maju berjalan ke depan, entah apa maksudnya aku juga kurang paham.  Satu lagi, ibuku dan ibunya pernah bercanda seumpama menjadi besan. Candaan itu, pada akhirnya menjadi kenyataan. Sederet peristiwa inilah yang membuat aku tersadar, tidak ada namanya kebetulan yang benar-benar terjadi. Sebab Tuhan yang dengan cermat merancang semuanya.

Itulah ceritaku, cerita cinta yang mungkin tak terduga. Jangankan kalian, aku sendiri terkaget-kaget sekaligus bersyukur dengan akhir yang inshaallah mendapat ridho-Nya ini. Pada akhirnya, kini aku menyadari seberapa besar kita meng-agungkan keinginan kita, Tuhanlah yang paling tahu apa yang kita butuhkan. Tuhan tahu apa yang terbaik untukku, untukmu, untuk dia, pun untuk mereka. Terakhir pesanku:
Jangan berputus asa, jangan terlampau bersedih, dan percayalah, di waktu yang tepat, Tuhan akan menjodohkanmu dengan seseorang yang padanya kamu pantas bersandar.


** Ditulis  oleh Siti Nuraini berdasarkan cerita dari Laily Anisa

Happy Wedding Mbak Anis dan Mas Barok, Barakallahu lakuma wabarokah …





Comments

  1. Kisah yang menarik... aku dulu juga memberanikan diri untuk menerima lamaran seseorang yang belum begitu aku suka..
    tapi yah, mungkin memang jodoh, selama tarufan aku semakin jatuh cinta..
    Siti, kamu udah nikah belum?

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih telah memberikan komentar. Tunggu kunjungan balik saya ke Blog teman-teman :)