Hello, it’s me. Duh,
why pembuka
tulisan ini berbau-bau random dan tidak jelas. Yap, benar, tepat sekali. Mood penulisnya sedang kacau.
Barangkali, sekacau rumput liar yang bertubi-tubi ditimpa hujan. Coba saja
intip, daun rumput itu sempoyongan ke kanan, ke kiri. Pasrah ia, tak bisa lari
ke mana-mana. Mau menghindar, ia tak punya sesuatu untuk berteduh menaunginya.
Mau berlari, kamu tahu bukan kalau rumput tak punya kaki. Persis, persis
seperti kamu kala itu. Hanya menerima semua hal, sebab tak ada pilihan lain
kecuali itu. Benar bukan?
Ketimbang
melanjutkan cerita yang nampaknya akan penuh kepiluan, aku memilih untuk
menceritakan seseorang. Hah... sopo-sopo?
Itu, seseorang yang dulu pernah berbagi kisah bersamaku. Kita berdua,
sempat berbagi takdir yang kebetulan sama. Juga, beberapa kali lelap dalam
lembar selimut yang sama. Pun juga, sempat beberapa kali menghabiskan waktu
berlibur bersama. Bagaiamana, cukup istimewa bukan hubungan yang kami punya?
Sayangnya,
dalam hidup ini, setiap diri kita adalah
perpisahan yang tertunda. Ketika penundaan itu berakhir, sewaktu-waktu kita
akan berpisah dengan orang-orang yang membersamai saat ini. Bisa karena pindah
pekerjaan, bisa karena pindah dunia, atau pindah
hati sekalipun. Aku dan dia, terpisah karena terpaksa harus pindah tempat kerja.
Tapi yang hingga kini aku syukuri, sejauh apapun jarak kami berdua, seringnya
dia masih mengingatku. Meski kadang terpaksa, kalimat-kalimat rindunya harus
aku abaikan. Lagi-lagi bukan karena tak lagi sayang, tapi sebab ada tanggung
jawab yang lebih besar dan lebih mendesak ketimbang menghapus kerinduan.
Aku
mengenal dia sebagai pribadi yang penyayang, hanya kadang-kadang moodnya susah ditebak. Sebentar bahagia,
untuk kemudian tiba-tiba berduka. Ia, dari luar terlihat manja. Tapi suatu
waktu, ia menjelma tukang pel handal yang dengan cekatan mengeringkan lantai
yang penuh tumpahan air banjir. Kadang-kadang, iya juga berubah jadi tukang kue
yang memasak bolu walau hanya satu resep.
Oia,
tadi aku sempat bercerita bahwa ia pernah berbagi takdir yang sama denganku.
Iya, ini tentang garis terdepan. Garis
terdepan itu apa? Garis terdepan perang? Garis terdepan barisan upacara?
(ini nggak mungkin sih, dalam cerita
mana postur imut bisa di barisan terdepan upacara). Cluenya adalah lirik lagu
Fiersa Besari, “pasti kau temukan aku di garis terdepan, bertepuk dengan
.....”.
Suatu
hari, dia pernah bercerita. “Kak, dia gak peka. Tak WA gak dibalas, tak kode mental. Gak paham cuek banget kak”. Trus
tak jawab, “jadi gini dek, dia itu bukannya gak peka, tapi memang gak suka sama
kamu”. Lantas setelah jawaban itu, aku tak tahu lagi cerita apa selanjutnya. Yang
jelas, cerita seperti ini pasti akhirnya mendatangkan luka. Tapi aku harap cuma
sebentar, untuk kemudian diganti suka yang amat panjang.
Lantas,
siapa dia ini. Ini sahabat, partner jajan, partner jalan, murid, dan sekaligus adek
angkat aku, neneknya sudah menganggap aku seperti anak sendiri saat di Malang.
Ya, beliau salah satu guru yang mengajar di SMP di Malang bersamaku. Saat dia
masih SD, beberapa kali aku dimintai tolong untuk menjadi wali murid dan datang
untuk rapat. Aku, saat waktu memang luang senang-senang saja melakukan ini itu.
Pun kalian tahu, aku memang tidak pernah punya adek. Bungsu yang selalu
merepotkan jika di rumah. Tapi tenang, di luar rumah aku cukup bisa diandalkan
(sedikit, hehe).
Saat
ini, dia sudah SMP. Entah kenapa tiba-tiba minta ditulis di blog ini. Karena
anak ini baik (masio kadang nyebelin
karena kepo kapan aku nikah teros), jadi tak tulis saja di sini. Anak ini
tegar, tugasnya mengawal neneknya yang sendirian di Kota Malang. Tugasnya tidak
mudah di usia yang masih belia, menemani nenek kondangan, arisan, jadi tempat
curahan hati atas pekerjaan nenek yang kadang sangat anu (kalian tahulah, menjadi guru tidak selalu mudah), menjadi
satu-satunya penampung amarah neneknya. Tapi tentu saja sekaligus menjadi
satu-satunya yang dicintai neneknya.
Karena
menjadi satu-satunya sandaran, terkadang mood-nya
cepat sekali berubah. Sebab ini, beberapa menganggapnya menyebalkan. Padahal
sebenarnya, dia anak baik yang cerdas, punya semangat dan juga perhatian pada
orang di sekitarnya termasuk aku yang jauh di sini. Seringkali, ia mengatakan
kerinduan, menanyakan kabar, menanyakan dengan siapa aku saat ini dekat, apa
orangnya baik dan tak membuatku menangis dan hal-hal lain yang logisnya
disampaikan orang dewasa. Ya, sepertinya semakin hari ia makin tumbuh menjadi
gadis yang dewasa.
Hai
kamu, Nisa, adeknya Kak Aini, semangat terus ya sekolahnya. Dan lagi, fokus saja dulu untuk belajar. Jika sedari
sekarang kamu pacaran, butuh berapa kali patah hati sampai akhirnya nanti
dewasa? Patah hati untuk semua usia itu sakit, jadi jangan coba-coba untuk
saat ini. Fokus saja belajar, fokus menjadi sandaran ibu, belajar hal-hal baik
dari guru dan orang-orang di sana. Aku percaya, setelah beberapa prestasi
kemarin kamu raih, kamu bisa menjangkau bahkan yang lebih baik lagi. Baik-baik
di Malang berbahagialah selalu, berbahagialah sunggguh.
With Love, Aini
Each of us sometimes needs a break in order to rethink everything that is happening and understand what to do next and in which direction to develop.
ReplyDelete